Tuesday 22 July 2014

Perbedaan itu, Indah...

Oke, kali ini gue nulis dadakan. Soalnya gue eneg liat para (sok-sokan) simpatisan tentang presiden pada berserakan di media sosial. Langsung aja, gini. Perbedaan dalam kehidupan itu nggak bisa dihindarin. Kenapa? Karena tiap orang punya kepala dan otak yang nggak nempel satu sama lain. Kepala kita nggak gancet. Istilahnya, kita punya hal yang diyakini sendiri-sendiri. Oke, sampe sini ada yang nggak setuju?

Gue lanjut. Terus, ngeliat Indonesia sekarang, jujur gue miris, ironis, tragis, dan kulit manggis (jangan becanda woy, serius). Gue nyayangin aja, perjuangan pahlawan-pahlawan kita buat nyatuin "keyakinan" ngebentuk negara ini, negara Indonesia, pada waktu dulu kala dikotori oleh generasi penerusnya sendiri. Elu masih inget kan pemilihan presiden jaman dulu, rival kita adalah penjajah, kompeni kalo mbah gue bilang. Tapi sekarang? Yapp! Rival kita temen sendiri, temen sebangsa. Gue nggak habis pikir, media sukses besar mecah-belah kita, khususnya generasi muda. Big applause dari gue buat kalian, media. Sisi lain, media juga sukses numbuhin sikap kritis anak-anak muda, okelah ya. Tapi, sikap kritis bagi gue itu ibarat bumerang, yang bisa kita gunain buat memajukan bangsa ini, atau malah membuatnya semakin tenggelam, menenggelamkan Indonesia.

Balik lagi ke perbedaan. Gue pernah baca kalimat kalo, "Perbedaan itu indah". Sempat mikir juga gue, dimana letak indahnya perbedaan? Yang ada, perbedaan itu malah membuat kita saling jegal-jegalan, bukan saling menguatkan. Malah menimbulkan aura bersaing, nunjukkin siapa yang terkuat. Itu realita kita sekarang. Tapi kabar gembiranya, perbedaan itu udah ada ekstraknya. Gue yang nge-ekstrak (serius, Bal). Perbedaan itu indah, ya memang. Tapi hanya untuk orang-orang yang mengerti arti perjuangan. Sebenernya asik sih generasi kita sekarang ini, kritis gila (saluut gue). Tapi sayang, kritisnya, kritis yang cuma ikut-ikutan dan nggak paham bagaimana dulu empunya berjuang. "Mereka" seakan-akan mendewakan suatu hal (baca: capres) diatas Tuhan. You mad, vroh? Mereka yang nyapres itu, kalo kebelet ya sama aja kayak kita, perginya ke WC. Artinya, mereka nggak jauh beda sama kita. Lalu kenapa 'kita' ngebela dia sampe mati-matian? Okelah kalo kita cinta pada suatu hal, tapi jangan sampai cinta itu membutakan segalanya, fanatik istilahnya. Kita sekedarnya aja ngedukung, kita sekedar simpatisan aja. Supaya kalo yang kita cintai nggak seperti yang diharapkan, kita cuma kecewa sekedarnya juga.

Maka dari itu, udahlah. Kita ini Indonesia. Kita bukan Om Wowo, kita juga bukan Om Owi. Siapapun pemimpin kita, itu kehendak Tuhan, yang diinginkan Tuhan. Buat simpatisan yang kalah, legowo bukan sikap yang mudah. Gue percaya itu. Memang, menang-kalah itu hal biasa dalam kompetisi. Tapi enggak jika lu yang jadi pecundangnya. Ini bukan tentang aturan main, ini tentang rasa. Gue ngerti apa yang lu rasain, maka cobalah untuk merelakan, dan bersikap dewasa, juga profesional. Terus buat simpatisan yang menang, jumawa adalah musuh kalian setelahnya. Kualitas lu diuji disini. Kalo lu emang pure simpatisan, lu tinggalin atribut Om Owi, lu pake atribut Indonesia, terus lu bakal ngerangkul yang kalah. Tunjukin kalo lu adalah simpatisan dari seorang pemenang sejati.


Oke itu aja tulisan dadakan dari gue. Yang perlu lu inget, politik itu bukan hal pasti. Jadi, jangan terlalu fanatik dengan "kepercayaan politik" yang lu pake saat ini. Sekedarnya, secukupnya, semampunya, dan jangan memaksakan apa yang telah Tuhan rencanakan. Salam damai, dari seorang Atheis Politik. Bye.

No comments:

Post a Comment