Oke, kali ini gue nulis dadakan. Soalnya gue eneg liat para
(sok-sokan) simpatisan tentang presiden pada berserakan di media sosial. Langsung
aja, gini. Perbedaan dalam kehidupan itu nggak bisa dihindarin. Kenapa? Karena
tiap orang punya kepala dan otak yang nggak nempel satu sama lain. Kepala kita nggak
gancet. Istilahnya, kita punya hal yang diyakini sendiri-sendiri. Oke, sampe
sini ada yang nggak setuju?
Gue lanjut. Terus, ngeliat Indonesia sekarang, jujur gue
miris, ironis, tragis, dan kulit manggis (jangan becanda woy, serius). Gue
nyayangin aja, perjuangan pahlawan-pahlawan kita buat nyatuin "keyakinan"
ngebentuk negara ini, negara Indonesia, pada waktu dulu kala dikotori oleh generasi
penerusnya sendiri. Elu masih inget kan pemilihan presiden jaman dulu, rival
kita adalah penjajah, kompeni kalo mbah gue bilang. Tapi sekarang? Yapp! Rival
kita temen sendiri, temen sebangsa. Gue nggak habis pikir, media sukses besar mecah-belah
kita, khususnya generasi muda. Big applause dari gue buat kalian, media. Sisi
lain, media juga sukses numbuhin sikap kritis anak-anak muda, okelah ya. Tapi,
sikap kritis bagi gue itu ibarat bumerang, yang bisa kita gunain buat memajukan
bangsa ini, atau malah membuatnya semakin tenggelam, menenggelamkan Indonesia.
Balik lagi ke perbedaan. Gue pernah baca kalimat kalo,
"Perbedaan itu indah". Sempat mikir juga gue, dimana letak indahnya
perbedaan? Yang ada, perbedaan itu malah membuat kita saling jegal-jegalan,
bukan saling menguatkan. Malah menimbulkan aura bersaing, nunjukkin siapa yang
terkuat. Itu realita kita sekarang. Tapi kabar gembiranya, perbedaan itu udah ada
ekstraknya. Gue yang nge-ekstrak (serius, Bal). Perbedaan itu indah, ya
memang. Tapi hanya untuk orang-orang yang mengerti arti perjuangan. Sebenernya
asik sih generasi kita sekarang ini, kritis gila (saluut gue). Tapi sayang, kritisnya,
kritis yang cuma ikut-ikutan dan nggak paham bagaimana dulu empunya berjuang. "Mereka"
seakan-akan mendewakan suatu hal (baca: capres) diatas Tuhan. You mad, vroh? Mereka
yang nyapres itu, kalo kebelet ya sama aja kayak kita, perginya ke WC. Artinya,
mereka nggak jauh beda sama kita. Lalu kenapa 'kita' ngebela dia sampe
mati-matian? Okelah kalo kita cinta pada suatu hal, tapi jangan sampai cinta
itu membutakan segalanya, fanatik istilahnya. Kita sekedarnya aja ngedukung, kita
sekedar simpatisan aja. Supaya kalo yang kita cintai nggak seperti yang
diharapkan, kita cuma kecewa sekedarnya juga.
Maka dari itu, udahlah. Kita ini Indonesia. Kita bukan Om
Wowo, kita juga bukan Om Owi. Siapapun pemimpin kita, itu kehendak Tuhan, yang
diinginkan Tuhan. Buat simpatisan yang kalah, legowo bukan sikap yang mudah. Gue
percaya itu. Memang, menang-kalah itu hal biasa dalam kompetisi. Tapi enggak jika lu yang jadi pecundangnya. Ini bukan tentang aturan main, ini tentang rasa.
Gue ngerti apa yang lu rasain, maka cobalah untuk merelakan, dan bersikap
dewasa, juga profesional. Terus buat simpatisan yang menang, jumawa adalah
musuh kalian setelahnya. Kualitas lu diuji disini. Kalo lu emang pure simpatisan, lu tinggalin atribut Om Owi, lu pake atribut Indonesia, terus lu bakal
ngerangkul yang kalah. Tunjukin kalo lu adalah simpatisan dari seorang pemenang sejati.
Oke itu aja tulisan dadakan dari gue. Yang perlu lu inget, politik
itu bukan hal pasti. Jadi, jangan terlalu fanatik dengan "kepercayaan
politik" yang lu pake saat ini. Sekedarnya, secukupnya, semampunya, dan
jangan memaksakan apa yang telah Tuhan rencanakan. Salam damai, dari seorang Atheis
Politik. Bye.
No comments:
Post a Comment