Jam menunjuk pukul 23:00 WIB. Sudah hampir setengah jam
lembar kerja Microsoft Word belum ternoda. Masih berupa
hamparan putih dengan kursor yang berkedip teratur di pojok kiri atas layar.
Bersih. Kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan bocah laki-laki itu. Hanya menatap
datar lembar kerjanya tanpa melakukan apa-apa. Sepuluh menit berlalu, dua
puluh, tiga puluh. Tentu dia punya banyak waktu untuk dibuang-buang. Untuk tak
melakukan apa-apa. Malam adalah dunianya. Kesunyian adalah teman terbaiknya.
Menghabiskan waktu dimalam hari berteman kesunyian membuat dunianya ramai.
Ramai menurut dia.
Malam semakin malam, semakin larut didalam kegelapan. Bocah
laki-laki itu masih diam, tetap bungkam. Nafasnya terhela. Akhirnya,
jari-jemari tangannya mulai mengetikkan kata pertamanya... "Takut".
Sesaat kemudian dia melanjutkan.
"Aku takut pada
diriku sendiri. Yang orang lain katakan selalu menyenangkan, selalu membahagiakan,
selalu tanpa beban.Yang kebanyakan orang kira selalu tangguh, selalu bisa
memecahkan persoalan, selalu, selalu, dan selalu. Iya, selalu. Selalu adalah
kata yang menakutkan. Mengerikan. Membuatku gemetar.
Aku takut pada diriku sendiri. Yang orang lain
anggap sebagai panutan. Sebagai teladan. Sebagai contoh. Aku tak seterang itu. Aku
tak lebih bersinar dari kalian. Tak lebih baik juga dari tulisan-tulisanku.
Aku takut pada diriku
sendiri. Pada tanggung jawab yang ada dikedua pundakku. Tanggung jawab sebagai
anak pertama. Tanggung jawab untuk membantu orang tua, untuk menjadi tulang punggung
keluarga, membantu pendidikan kedua saudara, terlebih untuk diriku sendiri. Bagaimana-jika-seandainya-aku-gagal?
Pertanyaan itu jauh lebih menyeramkan dibanding hantu atau makhluk buas manapun.
Aku-ketakutan."
"Beep.... Beepp.. Beeeeppp..." Tangannya berhenti
mengetik. Pandangannya teralih ke sudut meja. Satu (lagi) pesan masuk dari
aplikasi WhatsApp. Beberapa pesan menumpuk
diponsel pintarnya. Tidak. Dia bukan tidak sadar. Memang sengaja. Sengaja untuk
tidak membuka pesan masuknya. Ada hening yang cukup lama. Jeda diantara tulisan.
Lalu, dia kembali melanjutkan.
"Aku dihantui ketakutan...
sampai akhirnya kamu datang. Hingga kamu memberiku pelukan, untuk tetap kuat bertahan.
Untuk melawan ketakutan.
Kini aku merasa
berani. Aku merasa tak perlu lagi ada hal yang harus aku takuti. Berada didekatmu,
aku tidak menjadi 'aku'. Aku menjadi 'kita'. Tentu, kita adalah aku dan kamu.
Aku seperti seorang pemberani. Iya, seperti."
Kedua bibirnya terangkat. Tersenyum kecil.
"Tetapi aku salah.
Aku semakin ketakutan. Kau membuatku ketakutan. Sejatinya aku bukan seorang pemberani.
Aku adalah si penakut. Aku takut melukaimu. Melukai perasaanmu, melukai hatimu.
Tidak selamanya aku menjadi mata air bahagia yang mengalirkan senyum dan tawa.
Akan ada waktunya aku akan menumpahkan genangan air dikedua matamu. Pasti ada
masanya sikapku, ucapanku, dan entah apapun itu akan membuat anak sungai membelah pipimu.
Aku takut mengecewakanmu.
Takut jika bukan seperti yang kamu harapkan. Aku bukan apa-apa. Juga bukan
siapa-siapa. Aku hanya seorang yang merasa beruntung bisa memelukmu. Mendekapmu
selekat ini. Kamu... Tak cukup semalam aku mendefinisikan kata 'kamu'. Hanya
saja, aku takut tak mampu mengimbangimu.
Aku takut
kehilanganmu. Kehilangan candamu, tawamu, marahmu, atau uring-uringanmu disetiap pagi. Aku takut semua
itu hilang. Takut jika tak kutemukan lagi semua kebahagian itu diesok hari. Tak
kurasakan lagi hal yang sama dikemudian hari."
"Krek.. Krekk... Sssstt, Fiuhh." Gas karbondioksida terhembus. Kepulan uap hasil pembakaran membumbung ke langit-langit kamar. Ruangan yang
tak terlalu besar mulai dipenuhi asap putih. Bocah laki-laki itu tersenyum.
Senyumnya lebar. Memandangi ponsel pintarnya. Membaca pesan yang dikirim oleh seseorang.
'Udah tidur ya?'
'Aku ditinggal lagi
:('
'Nyebelin, ah'
'Uuu, nyebelin'
Tangannya mulai sibuk membalas pesan yang sudah sejak sejam lalu masuk keponselnya.
'Eh, maaf. Aku ketiduran
lagi. Hehehe'
'Selamat malam ya?
Mimpi indah'
"Tidur nyenyaklah. Bola sinar raksasa siap menunggumu dipagi
hari. Begitupun... aku. Iya, aku."