Wednesday 8 June 2016

Ramadhan Kali Ini

Ramadhan kali ini.
Ramadhan kali ini terasa berbeda. Tak lagi merasa sepi seperti tahun-tahun lalu. Tak lagi merasa kehilangan walau banyak yang telah pergi meninggalkan. Beginikah ikhlas?

Ramadhan kali ini.
Ramadhan kali ini terasa nyaman. Sendirian. Melewati hari, membunuh waktu. Dalam beberapa hal, sendiri adalah musuh dan teman terbaik. Racun dan penawar disaat yang bersamaan. Sial! Sepertinya aku satu dari sekian orang yang menjalin hubungan dengan kesendirian.

Ramadhan kali ini.
Ramadhan kali ini terasa damai. Mungkin karena sudah terbiasa. Terbiasa berbuka sendirian, menyantap sahur sendirian, merindukanmu sendirian. Merindukanmu?

Ah, kupikir tidak. Bukan kau yang aku rindukan. Bukan kau, sayang. Tetapi kebersamaanmu, ketika bersama denganmu. Aku merindukan momen. Momen saat kita tertawa, momen saat kita bertingkah konyol, momen saat mata kita saling menatap satu sama lain.

Jadi, inikah akhir? Aku tak pandai menebak.

Ramadhan kali ini, terasa indah. Karena aku masih bisa mengucap kata rindu yang mungkin saja selama ini tak pernah kau tahu.

Sunday 6 March 2016

Kita Tak Pernah Tahu

     Kita tidak pernah tahu, sayang, siapa yang kelak akan mengisi sela jari tangan kita. Menggenggamnya erat-erat. Entah, bahu siapa yang akan menjadi sandaran nyaman untuk mendengar setiap keluhan menjelang lelap. Atau, memberikan pelukan hangat saat dunia menatap sinis mengacuhkan.

     Kita tak pernah tahu, apakah ayah dan bunda baru kita akan peduli, sepeduli orangtua lahir kita. Apakah mereka akan menyayangi layaknya buah hati mereka. Mengasihi sepenuh hati mereka.

     Kita tak pernah tahu, bagaimana rupa dan wujud belahan jiwa kita kelak. Sombong, kah? Penyayang? Baik hati, arogan, penyabar, malas, rajin, atau galak sekalipun. Kita tidak pernah tahu itu sebelumnya.

     Sayang,
     Hari ini, hingga ku ketikkan sebuah tulisan ini, segalanya masih menjadi rahasia. Tolong, jangan berusaha mendahului. Hari esok masih terlihat abu-abu. Aku mohon, jangan bersikeras memaksa. Terkadang, kita yang tergesa-gesa. Terburu ingin segera tahu. Mendesak. Menggurui. Lalu beberapa saat kemudian berkata, "Kita tidak ditakdirkan untuk bersama." dan kita pun berlalu sia-sia. Itu yang kau inginkan, sayang? Entah.

     Kemarilah, mendekat. Biar aku kasih kau sebuah pengertian. Didalam hidupku, banyak yang telah berlalu. Si Peduli, si Rasional, si Baik, si Bocah, si Dewasa, si Perasa. Kau tahu, mereka berlalu dengan alasan yang sama, s.e.l.a.l.u sama. Apakah itu akan terjadi padamu juga, sayang? Entah.

     Memang, aku selalu mengabaikanmu, berpura-pura bodoh saat berada didepanmu. Tak salah, aku selalu membuatmu menangis sendirian, membuat perjuanganmu tampak tak berguna, memupuskan asa yang kau rawat setiap harinya. Benar, aku terkesan cuek padamu, tak mempedulikan teman-temanmu yang mencibir, ocehan setiap orang yang memberi sebutan "Gagal Move On".

     Sayang,
     Aku ingin kau menjawab pertanyaan ini. Apakah semua akan berjalan baik-baik saja seandainya ku ungkapkan cinta padamu, saat ini juga? Apakah takkan ada cemburu, gelisah, dan kecewa ketika kita "berjanji" untuk saling setia sebelum waktunya? Bukankah sekarang adalah waktu yang tepat untuk berfokus pada cita-cita dan keluarga?

     Harus aku katakan berapa ribu kali lagi padamu, pergilah sendiri jika kau tergesa. Aku masih bersiap, memantaskan diri untuk menjadi pelindungmu, menjadi imam untuk keluarga kecil kita, atau menjadi seorang laki-laki yang pantas dibanggakan oleh ayah dan bundamu kelak. Itupun jika kau bersedia.

     Sayang,
     Aku ingin kau tahu bahwa aku bukan seorang yang baik, tapi setidaknya aku telah berusaha untuk tidak menjadi seorang bajingan.